ILMU KEBUTUHAN SETIAP MUSLIM
Seorang Muslim hidup di dunia ini membutuhkan ilmu agama agar dapat meraih kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Kebutuhan manusia terhadap ilmu syariat melebihi kebutuhannya terhadap makanan dan minuman, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal رحمه الله , “Manusia lebih membutuhkan ilmu dibandingkan kebutuhan mereka terhadap makanan dan minuman, karena kebutuhan mereka terhadap makanan dan minuman dalam sehari hanya satu atau dua kali saja, adapun kebutuhan mereka terhadap ilmu itu sebanyak hembusan nafasnya”.1
Oleh karena itu, Rasûlullâh Muhammad ﷺ mewajibkan atas setiap Muslim untuk menuntut ilmu agama. Beliau ﷺ bersabda:
طَلَبُ العِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلىَ كُلِّ مُسْلِمٍ (رواه ابن ماجه)
Menuntut Ilmu itu wajib bagi setiap muslim”. (HR. Ibnu Mâjah)2
Dalam menjelaskan hadits ini, Imam Ibnul Qayyim رحمه الله berkata, “Iman itu wajib dimiliki oleh setiap Muslim. Ia terdiri dari ilmu dan amal, maka tidak mungkin iman itu terwujud kecuali dengan ilmu dan amal. Kemudian syariat Islam itu wajib diamalkan oleh setiap Muslim, maka tidak mungkin seseorang melaksanakannya kecuali dengan ilmu. Allâh عزوجل mengeluarkan manusia dari perut ibunya dalam keadaan jâhil (tidak berilmu) dan tidak mengerti apa-apa, karenanya menuntut ilmu itu wajib bagi setiap Muslim. Dengan ini, seseorang tidak dapat beribadah – yang itu merupakan hak Allâh عزوجل atas hamba-Nya – kecuali dengan ilmu, dan tidaklah seseorang mendapatkan ilmu kecuali dengan cara mencarinya”.3
Setiap Muslim tentu berharap amal ibadahnya diterima dan ia menjadi selamat dari kesesatan. Tujuan luhur ini membutuhkan ilmu agar segala yang ia lakukan itu benar dan bermanfaat bagi dirinya. Sebaliknya, jika ia melakukan suatu amalan tanpa ilmu, maka hal itu tidak bermanfaat bagi dirinya, bahkan bisa jadi berbahaya bagi dirinya, sebagaimana yang dikatakan oleh ‘Umar bin ‘Abdul Azîz رحمه الله , “Barang siapa melakukan suatu amalan dengan tanpa ilmu, maka kemudharatannya itu lebih besar dibandingkan kemaslahatannya”.4
Ibnul Qayyim رحمه الله juga mengatakan, “Sesungguhnya Ilmu itu lokomotif bagi amalan, setiap amalan yang tidak dipimpin oleh ilmu maka tidak bermanfaat, bahkan berbahaya bagi pelakunya, sebagaimana perkataan sebagian ulama Salaf, “Barang siapa yang beribadah kepada Allâh عزوجل tanpa dasar ilmu, maka apa yang ia rusak lebih banyak dibandingkan apa yang ia perbaiki”. Karena amalan jika dilihat dari sisi diterima dan ditolaknya akan bertingkat-tingkat sesuai dengan latar-belakang yang mendasarinya. Jika berdasarkan dasar ilmu maka diterima, dan sebaliknya jika amalan tersebut tidak didasari ilmu maka ditolak, jadi ilmu itu adalah barometer diterima dan ditolaknya amalan seseorang”.5
ILMU SUMBER KEYAKINAN
Setiap Muslim pasti menginginkan ketenangan hati dalam kehidupannya, dan hal itu membutuhkan ilmu yang membuahkan keyakinan. Selanjutnya, dengan keyakinan tersebut hati menjadi tenang. Imam Ibnul Qayyim رحمه الله berkata, “Andaikata tidak ada manfaat dari ilmu kecuali membuahkan keyakinan yang merupakan sumber kehidupan hati yang paling agung, niscaya itu sudah cukup. Dengan keyakinan itu hati menjadi tenang, tegar, dan bersemangat. Itulah sebabnya Allâh عزوجل memuji pemilik ilmu di dalam al-Qur’ân dalam beberapa ayat: (diantaranya):
Allâh عزوجل berfirman:
وَكَذٰلِكَ نُرِيْٓ اِبْرٰهِيْمَ مَلَكُوْتَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَلِيَكُوْنَ مِنَ الْمُوْقِنِيْنَ
Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan di bumi, dan (Kami memperlihatkannya) agar Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin.”(QS. AlAn’âm/6:75).
Dan Allâh عزوجل mencela orang yang tidak memiliki keyakinan terhadap al-haq, sebagaimana firman-Nya:
اَنَّ النَّاسَ كَانُوْا بِاٰيٰتِنَا لَا يُوْقِنُوْنَ ࣖ
“Bahwa sesungguhnya manusia dahulu tidak yakin kepada ayat-ayat Kami.” (QS. An-Naml/27: 82).6
Jadi, seorang Muslim memang membutuhkan ilmu untuk meraih ketenangan hidup. Dan ia pun pasti menginginkan pula agar dimudahkan oleh Allâh kuntuk berjalan menuju surga-Nya, dan hal itu mudah bagi yang dimudahkan oleh Allâh عزوجل , yakni dengan cara menuntut ilmu agama, sebagaimana sabda Nabi Muhammad :
وَمَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا، سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلَى الجَنَّةِ
“Barang siapa yang menempuh jalan menuntut ilmu, maka Allâh عزوجل memudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim). 7
Dengan demikian para pembaca budiman, kita mengetahui bahwa seorang Muslim sangat membutuhkan ilmu agama dalam kehidupannya di dunia ini agar mendapatkan kebahagiaan di dua negeri, dunia dan akhirat.
KELUARGA MUSLIM MEMBUTUHKAN ILMU
Setelah kita pahami bersama bahwa setiap rohani itu membutuhkan makanan berupa ilmu, dan kebutuhan rohani terhadap ilmu itu melebihi kebutuhan badan terhadap makanan. Oleh karena itu keluarga Muslim hendaknya memperhatikan kebutuhannya, sebagaimana memperhatikan kebutuhan hidupnya sehari-hari.
Kebutuhan terhadap ilmu itu terlihat pada semua aspek kehidupan keluarga yang membutuhkan ilmu, misalnya dalam melaksanakan hak dan kewajiban yang sangat luas cakupannya itu. Keluarga Muslim membutuhkan ilmu agar setiap anggota keluarga mengerti akan hak dan kewajiban mereka, baik hak dan kewajiban mereka kepada Allâh عزوجل dan kepada sesamanya. Hak dan kewajiban tersebut jika dilaksanakan dengan baik, maka akan terbentuk keluarga Muslim yang harmonis dan bahagia di dunia dan di akhirat.
Demikian pula dalam hal mendidik anak, baik itu berupa pendidikan pranatal maupun pascanatal, orang tua memiliki peranan besar untuk membentuk mereka menjadi generasi yang shalih, taat kepada Allâh عزوجل dan RasulNya ﷺ . Untuk mewujudkan tujuan agung ini, dibutuhkan penguasaan ilmu secara mutlak.
Saat mencari nafkah pun, seorang ayah membutuhkan ilmu untuk dapat mengetahui usaha dan transaksi yang halal ataupun yang haram, dan mengerti agar kewajiban yang harus ditunaikan pada harta itu jika telah sampai nishab dan haul, sehingga menyodorkan nafkah yang halalan thayyiban untuk anak-istrinya dan akhirnya kehidupan keluarganyapun diberkahi oleh Allâh عزوجل .
Dalam menghadapi problematika yang ada di keluarga hal itu juga dibutuhkan ilmu, agar setiap problematika dapat teratasi dan mendapatkan solusi dengan baik, dan masih banyak lagi aspekaspek lainnya yang membutuhkan ilmu dalam kehidupan keluarga. Oleh karenanya, keluarga Muslim hendaknya tidak mengenyampingkan peranan ilmu dalam kehidupan keluarga. Sebab, jika keluarga itu menjadi keluarga yang sakinah mawaddah warahmah, dan anak-anak menjadi shalih dan shalihah, maka manfaat besar dan kebahagiaan dunia akhirat pun dapat diraih.
POTRET KELUARGA CINTA ILMU
Pembaca budiman, marilah sejenak kita melihat potret kehidupan dari keluarga yang cinta ilmu, keluarga yang berhasil mencetak generasi yang shalih dan alim, untuk kita jadikan suri teladan dalam membentuk keluarga yang mencintai ilmu. Di antaranya:
- Keluarga Imam Ahmad bin Hanbal asy-Syaibâni رحمه الله .
Bermula dari pendidikan seorang ayah yang cinta ilmu dan amal, ‘Abdullâh bin Ahmad tumbuh menjadi seorang anak yang shalih dan menjadi sosok ulama periwayat kitab Musnad ayahnya maupun kitab-kitab lainnya, sehingga menjadi orang nomor satu di dunia ini yang banyak meriwayatkan hadits dari Imam Ahmad bin Hanbal. Ibnu al-Munâdi رحمه الله mengatakan, “Tidak ada seorang pun di dunia ini yang paling banyak meriwayatkan hadits dari Ahmad bin Hanbal melebihi putranya (‘Abdullâh bin Ahmad), karena ia telah belajar dari ayahnya 30.000 hadits dari kitab Musnad, 80.000 hadits dari kitab tafsir dan selebihnya adalah wijâdah (mendapati hadits dari buku tulisan ayahnya). Ia juga belajar dari ayahnya nâsikh dan mansûkh, târîkh, hadits riwayat Syu’bah, ilmu yang berkaitan dengan alQur`ân, kitab manasik yang besar maupun yang kecil dan lain sebagainya.”8
- Keluarga Imam Syâfi’i رحمه الله .
Pada masa kecil, Imam Syâfi’i رحمه الله hidup dalam keadaan yatim. Ia hanya memiliki seorang ibu (janda) yang sangat perhatian dengan pendidikan anaknya, seorang ibu yang kuatir akan suramnya masa depan buah hatinya. Sang ibu pun berusaha agar anaknya mencintai ilmu dan Ulama. Oleh karena itu, pada usia dua tahun, Imam Syâfi’i رحمه الله diantar ibunya dari kampung halamannya (Gaza) menuju kota Makkah untuk tinggal bersama keluarga ayahnya9 yang perhatian dengan ilmu, sehingga ia dapat menimba ilmu agama dari para Ulama di kota Makkah dan Madinah waktu itu, sampai beliau menjadi ulama besar. Imam as-Suyuthi berkata, “Ia tumbuh besar di kota Makkah. Ketika berumur 7 tahun ia telah menghafal al-Qur`ân. Dan pada umur 10 tahun, telah menghafal kitab al-Muwaththa` karya Imam Mâlik رحمه الله . Ia juga belajar ilmu agama dari mufti Makkah Muslim bin Khalid Az-Zanji رحمه الله sampai memperoleh rekomendasi darinya untuk berfatwa pada saat ia berumur 15 tahun. Setelah itu, beliau pergi ke kota Madinah untuk menimba ilmu dari Imam Mâlik رحمه الله .”10
- Keluarga Imam as-Suyûthi رحمه الله .
Demikian pula dengan Imam as-Suyûthi رحمه الله yang dijuluki sebagai ibnul kutub (si anak buku), karena ia lahir di antara buku-buku ayahnya. Pada waktu itu, ayahnya ingin membaca suatu buku, ia meminta tolong istrinya yang sedang hamil untuk mengambilkannya di antara buku-buku yang lain di rumahnya. Sesampainya di tempat buku-buku tersebut, Imam as-Suyûthi kecil رحمه الله dilahirkan11. Hal ini menunjukkan bahwa Imam as-Suyûthi رحمه الله hidup dan tumbuh di tengah keluarga yang cinta ilmu, dan ketika besar ia menjadi ulama yang memiliki karya hampir di setiap bidang keilmuan. Sebuah keberhasilan yang berpangkal pada orang tuanya yang cinta ilmu.
Demikian pula dengan ‘Abdul Karîm putra Imam Nasâ’i رحمه الله sebagai periwayat kitab Sunan karya ayahnya. Demikian pula dengan ‘Abdullâh putra Imam Abu Dâwûd رحمه الله sebagai putra yang shalih dan alim. Dan masih banyak lagi generasi shalih dan berkualitas lainnya yang berasal dari keluarga yang sederhana dan cinta ilmu.
Bermula dari sebuah keluarga yang cinta ilmu tersebut terwujudnya bangsa yang bermartabat, kokoh, tenteram dan sejahtera. Allâh عزوجل berfirman:
وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰٓى اٰمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ وَلٰكِنْ كَذَّبُوْا فَاَخَذْنٰهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ
“Dan andaikata penduduk negeri itu beriman dan bertakwa, maka kami akan membukakan untuk mereka (pintu-pintu) keberkahan baik di langit maupun di bumi”. (QS. Al-A’râf/7:96).
KELUARGA TANPA ILMU
Ilmu adalah kunci segala kebaikan. Ilmu pun menjadi kunci keharmonisan rumah-tangga. Keluarga tanpa ilmu akan menjadi suram, dan tidak tercapai keharmonisan, bahkan bisa jadi memicu kehancuran bangunan rumah-tangga. Ilmu juga kunci bagi keluarga untuk mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Demikian juga, tanpa ilmu, suatu keluarga akan berada dalam kegelapan, tidak ada cahaya yang menerangi jalan mereka. Akibatnya, akan muncul dari keluarga tersebut generasi yang tidak menghiraukan hukum halal dan haram, krisis akhlak, moral dan kepribadian. Jika kebanyakan keluarga di suatu negeri seperti itu keadaannya, maka negeri tersebut akan mengalami keterpurukan dan kehancuran. Dan hanya Allâh عزوجل tempat mengadu.
BEBERAPA KIAT DALAM MEMBENTUK KELUARGA CINTA ILMU
Ada beberapa kiat dalam membentuk keluarga yang cinta ilmu, di antaranya:
- Menyampaikan atau membacakan kepada keluarga tentang keutamaan-keutamaan ilmu dan keutaman menghadiri majelis taklim.
- Mengajak anggota keluarga menghadiri majelis taklim.
- Atau mendengarkan rekaman taklim melalui multimedia seperti; Mp3, VCD/ DVD player, dan lain-lain. Atau mengikuti taklim di layar televisi InsanTV, RodjaTV atau televisi-televisi sunnah lainnya melalui media internet atau parabola.
- Membeli buku-buku agama yang berkualitas yang berdasarkan al-Qur`ân dan Sunnah yang merujuk pemahaman Salafus shalih, sebagai bahan bacaan anggota keluarga di rumah, baik untuk orang dewasa maupun untuk anak-anak. Artinya, hendaknya keluarga memiliki perpustakaan kecil di rumah untuk memotivasi anggota keluarga agar menyukai membaca dan mencinta ilmu.
- Berdoa kepada Allâh عزوجل agar keluarga kita dijadikan sebagai keluarga yang mencintai ilmu agama dan mengaplikasikannya dalam kehidupan.
Mudah-mudahan dengan melakukan hal-hal di atas, keluarga kita dijadikan oleh Allâh عزوجل sebagai keluarga yang mencintai ilmu dan cinta menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga menjadi keluarga yang harmonis, sakinah mawaddah warahmah, dan dapat mencetak generasi yang shalih, bertakwa dan berkualitas untuk Islam dan bangsa Indonesia.
Wallâhu a’lam.
Ustadz Nur Kholis bin Kurdian, Lc
1 Madârijus Sâlikin Baina Manâzili Iyyaka Na’budu Waiyyâka Nas ta’în II/440.
2 Sunan Ibni Mâjah I/80, Muhammad bin Yazîd al-Qazwîni. Hadits tersebut dishahîhkan oleh syaikh al-Albâni dalam Shahîh at-Targhîb wat Tarhîb II/17.
3 Miftah Dârus Sa’âdah I/156, Ibnul Qayyim.
4 Mushannaf Ibnu Abi Syaibah VII/175.
5 Miftâh Dârus Sa’âdah I/82.
6 Miftâh Daarus Saâdah I/154.
7 Shahîh Muslim IV/2074.
8 Târîkh al-Islâm wa Wafayât al-Masyâhîr al-A’lâm VI/762, karya adz-Dzahabi.
9 Siyar A’lâmin Nubalâ VI/10.
10 Husnul Muhâdharah fî Târîkh Misra wal Qâhirah I/303, karya Jalâluddîn as-Suyûthi.
11 An-Nûr as-Safîr ‘an Akhbâril Qarnil ‘Asyir hlm.51, karya ‘Abdul Qadir al-Aidarus.